Post-truth adalah istilah yang merujuk pada kondisi di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang lebih kecil dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi. Fenomena ini menjadi sorotan terutama sejak kata "post-truth" dinobatkan sebagai Word of the Year oleh Oxford Dictionaries pada tahun 2016.
1. Sejarah Singkat Post-truth
- Asal-usul: Istilah ini pertama kali digunakan oleh penulis Amerika, Steve Tesich, pada tahun 1992 dalam sebuah esai di The Nation, merujuk pada sikap publik terhadap skandal politik dan kebohongan pemerintah.
- Populer sejak 2016: Istilah ini meroket setelah peristiwa Brexit dan Pemilu Presiden AS 2016, di mana informasi palsu dan narasi emosional menyebar lebih cepat dan berpengaruh daripada fakta yang terverifikasi.
2. Perkembangan Saat Ini
- Media sosial memperparah kondisi post-truth dengan algoritma yang memprioritaskan keterlibatan (likes, shares), bukan kebenaran.
- Banyak orang hidup dalam “echo chambers” atau ruang gema informasi, di mana mereka hanya terpapar pandangan yang mereka setujui.
- Politik identitas, misinformasi, dan disinformasi menjadi alat kampanye efektif di berbagai negara.
3. Manfaat dan Bahaya
Manfaat (relatif dan kontroversial):
- Memberi ruang pada narasi alternatif, terutama dari kelompok minoritas yang tidak terwakili dalam wacana arus utama.
- Mendorong kritik terhadap otoritas, termasuk media dan pemerintah.
Bahaya:
- Melemahkan demokrasi karena masyarakat tidak punya fondasi informasi yang sama.
- Meningkatkan polarisasi dan intoleransi.
- Mengancam ilmu pengetahuan dan kesehatan publik, contohnya gerakan anti-vaksin.
- Menyuburkan teori konspirasi dan ekstremisme.
4. Cara Melakukan Post-truth (tidak dianjurkan secara etis):
Dijelaskan demi pemahaman, bukan untuk ditiru.
- Mengedepankan emosi, bukan fakta.
- Menyebarkan narasi yang sesuai dengan keyakinan target audiens, walau tidak akurat.
- Mengkondisikan opini publik lewat influencer, meme, atau propaganda yang menarik simpati atau kemarahan.
- Memanipulasi data atau membingkai ulang konteks secara menyesatkan.
5. Cara Mencegah dan Menghentikan Post-truth
Individu:
- Berpikir kritis dan tidak langsung percaya pada informasi viral.
- Cek fakta melalui sumber terpercaya seperti Snopes, Kominfo, atau media kredibel.
- Berani keluar dari “filter bubble”, dengan membaca pendapat berbeda.
- Literasi media dan digital harus diperkuat, sejak usia sekolah.
Pemerintah dan Lembaga:
- Regulasi platform digital, terutama soal penyebaran disinformasi.
- Kampanye literasi informasi secara masif dan terus-menerus.
- Mendukung jurnalisme independen dan transparansi informasi publik.
6. Langkah-langkah Menghadapi Post-truth
- Identifikasi emosi dalam konten yang Anda konsumsi: apakah ini mendorong kemarahan, ketakutan, simpati?
- Verifikasi sumber: siapa yang membuat klaim ini? Apakah ada sumber pendukung yang netral?
- Kembangkan kebiasaan skeptis tapi terbuka: jangan mudah percaya, tapi juga jangan menolak semua informasi baru.
- Diskusi dengan orang dari perspektif berbeda secara terbuka.
- Laporkan konten hoaks di media sosial.
- Edukasi orang di sekitar, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.
Sumber Ilmiah dan Literatur Penting
- McIntyre, L. (2018). Post-Truth. MIT Press.
- Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin's Press.
- Lewandowsky, S., Ecker, U. K. H., & Cook, J. (2017). Beyond Misinformation: Understanding and Coping with the “Post-Truth” Era. Journal of Applied Research in Memory and Cognition.
- Oxford Dictionaries (2016). Word of the Year.
Chatgpt : Jelaskan kepada saya seputar post truth dan sumber ilmiahnya.
Bagaimana sejarahnya dan perkembangannya saat ini.
Lalu apa manfaat dan bahayanya.
Bagaimana cara melakukannya
Bagaimana cara mencegahnya
Bagaimana cara menghentikannya
Langkah langkah atau cara untuk melakuk
annya
Komentar