Setelah lama tak membaca buku, beberapa minggu yang lalu ku
langkahkan kaki menuju salah satu toko buku yang cukup dikenal di Surakarta. Sore
yang diselimuti dengan hujan rintik namun terpancar kilat yang menyambar nyambar
berkali – kali. Entah, sore itu aku merasa bersemangat menuju toko buku itu.
Berjalan gontai tak memiliki tujuan tuk membeli buku, aku Cuma
merasa penasaran, ada buku yang cukup bagus kah atau tidak untuk dibaca. Ku
lihat rak rak buku penuh dengan promosi buku buku tebal berlabelkan sukses UN,
sukses SBMPTN dan sejenisnya itu. Karena udah setua ini umur saya, 23 tahun,
tak ada rasa tertarik untuk membelinya. Hanya, kadang ingat kalau di rumah aku
punya adik, yang kecil masih duduk dibangku kelas 2 SMA sana. Senyum simpul
sesaat saja kulakukan tapi tetap, aku belum mau mengeluarkan kocek untuk
membelinya.
Kulanjutkan perjalanan berputar putar tiada tujuan ini
menuju rak buku popular. Tampak ada buku motivasi motivasi yang sebenarnya aku
tertarik untuk membelinya. Tapi, uang didompet berkata dan membisikkan “uangmu Cuma
100.000 nak”. Ya sudah, ku baca baca buku yang sudah terbuka. Buku pertama,
sama sekali tidak menarik, buku kedua, waaah cukup menarik tapi harganya tidak
mempersilakan membelinya, buku ketiga, ini pas tampaknya. Aku ambil buku
bersampul ungu, berjudul “Jalan Cinta Para Pejuang,” karya Salim A. Fillah.
Bismillah, aku membeli ini ya Alloh.
Setelah beberapa saat membelinya, tak langsung aku buka. Aku
kemudian ingat, ini buku yang pernah di rekomendasikan sahabat sukoharjo saya,
mas Totok Siswanto. Seberapa alfanya saya terhadap agama, saya hanya mengerti
sedikit. Atas dasar kepenasaran saya saya buka plastik pembungkusnya. “Kreeeek..”terbuka
sudah. Aku membaca lembar demi lembar.
Dan akhirnya aku menemukan lembar yang tampaknya menarik
untuk aku sampaikan di blog ini. Ini lah kisah tentang Abdurrahman bin ‘auf,
sang pembuat emas terhadap apapun yang ia sentuh.
Berikut kutipan dari buku “Jalan Cinta Para Pejuang,” karya
Salim A. Fillah. Halaman 152-3
Abdurrahman bin auf dikisahkan mendatangi madinah dalam
keadaan tanpa harta, dalam kondisi tersebut, ia dipertemukan dan
dipersaudarakan dengan seorang anshar yang bernama Sa’d bin Ar rabi’. Ia
seorang Anshar yang dermawan. Pada suatu pertemuannya dengan Abdurrahman bin ‘Auf
ia menawarkan tawaran yang cukup membuat kita yang hidup di zaman ini
tercengang. Beliau berkata kepada Abdurrahman bin ‘auf, “Saudaraku terkasih di
Jalan Allah, sesungguhnya aku termasuk orang yang berharta di Madinah ini. Aku
memiliki dua buah kebun yang luas. Di antara keduanya pilihlah yang kau suka,
ambillah untukmu. Aku juga memiliki dua rumah yang nyaman, pilihlah mana yang
kau suka, tinggallah di sana. Dan aku memiliki dua orang isteri yang cantik –
cantik. Lihatlah dan pilihlah satu diantaranya, pasti akan kuceraikan dan
kunikahkan denganmu”.
Ya..bagi saya tawaran ini cukup mencengangkan. Bayangkan,
satu istri, satu rumah dan satu kebun yang luas. Itu memberi orang atau memiskinkan
diri. Namun, yang terlintas juga dalam benakku. Seperti inikah sesama orang
beriman mengasihi saudara seimannya? Lalu aku lanjutkan membaca.
Kemudian, apa yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘auf?
Ia tersenyum dan menjawab tawaran Sa’d bin Ar Rabi’, “Terima kasih atas segala
kebaikanmu, saudaraku. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Sebaiknya
tunjukkanlah saja padaku jalan ke pasar.” Setelah mendengarkan perkataan itu,
Sa’d bin Ar rabi’, yang Madinah itu, hanya berpesan sebagaimana orang madinah
yang lain yang menjunjung tinggi arti pernikahan, “Tetapi, setidaknya
menikahlah..”
Semakin tidak paham dengan kelakuan dua orang ini. Batin
saya pun berteriak “Iki uwong gendheng kabeh opo yo? Sik siji nawake bojo, omah
karo lemah, sik siji ra gelem di wenehi malah muk pengin diwenehi ngerti dalan
neng pasar” (Ini dua orang gila semua apa ya? Yang satu menawarkan istri rumah
dan tanahnya, yang satu menolaknya malah Cuma meminta dikasih tahu jalan ke
pasar), polos spontan saya merespon bacaan saya.
“In syaa Allah dalam sebulan ini saya akan menikah.” Jawab
Abdurrahman bin ‘auf kepada pesan yang diberikan Sa’d bin Ar rabi’. Lalu apa
yang dilakukan oleh Abdurrahman bin ‘auf setelah mengetahui arah ke pasar? Ia
menjadi kuli di hari pertama, lalu ia mencoba menjadi makelar di hari kedua, di
hari ketiga ia menjadi pedagang yang paling jujur, informative tentang
produknya, cerdas menggulingkan kas, juga suci dalam menakar dan menimbang. Ia
menjadi ‘komandan’ nabi untuk melaksankan surat Al- Muthaffifin yang turun
menjelang hijrah. Ia menjadi panglima dalam membasmi ekonomi riba ala Yahudi di
Pasar Madinah.
Ini yang dari kemarin saya cari. Cara seseorang pemuda
berbisnis, cara seseorang mempersiapkan ekonomi untuk membangun keluarga, dan
langkah – langkah indah yang ditorehkan oleh sahabat Rasulullah untuk berperan
serta dalam pengembanan misi dakwah. Menanamkan nilai islami dalam perniagaan. Dan
Akhir kisah ini diceritakan sebagai berikut :
Dengan penuh noda minyak khaluq, sang Abdurrahman bin ‘auf
menghadap Rasulullah SAW dalam tempo tepat sebulan setelah ia dulu mengatakan
ingin menikah setelah satu bulan bermukim di Madinah. Abdurrahman berkata, “Saya
menikah ya Rasulullah”, Rasulullah menanyakan, “dengan siapa?”; “Seorang wanita
anshar”; “apa maharnya?”; Emas seberat biji kurma.”; “ Wahai Abdurrahman,
selenggarakan walimah meski dengan seekor kambing.”
Merencanakan pernikahan dalam satu bulan dan terlaksana? Takjub
dan saya benar benar terkagum kagum dengan langkah progresif pemuda ini. Ia
menepati juga perkataan yang ia pernah katakan kepada saudara mukminnya di awal
ia memasuki madinah dulu. Patut berbanyak muhasabah bagi saya, patut banyak
beristighfar. Banyak target saya yang terbengkalai ini, dan saya harap, rencana
tahun 2016 saya diridhoi Allah. Mohon doa untuk kelancaran rencana saya ya
teman teman pembaca yang budiman.
Pesan pula bagi para pemuda Indonesia, mari kita memulai
hidup mandiri. (saya juga termasuk baru mencoba memulai). Mari kita jauhi sikap
meminta – minta ataupun setidaknya kurangilah tindakan meminta belas kasihan.
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, perbahasa itu cocok untuk
kisah ini. Serta mari kita rintis berbuat efektif efisien serta bekerja dengan
target, seperti yang dilakukan Abdurrahman bin ‘auf ini yang memiliki target
menikah satu bulan setelah masuk madinah, dan terlaksana. Tercermin tindakan
yang rapi dan pengejaran target yang ingin dicapai dengan kerja kerasnya
sendiri, dengan keringatnya sendiri. Meski ia hanya menggunakan emas seberat
biji kurma. Tampak sedikit tapi kita lihat, insyaa Alloh, barokah yang
terkandung dalam cara- cara yang Ia gunakan untuk membelinya, mencapainya
dengan susah payah. Wallahu a’lam bishawab
Mohon Maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan Artikel.
Terima kasih.
Komentar