1. Pendahuluan
Sifilis pada kehamilan disebabkan oleh Treponema pallidum, yang dapat ditularkan secara transplasental dan juga kontak langsung saat persalinan pervaginam bila terdapat lesi aktif pada genitalia.
Meski demikian, sifilis bukan kontraindikasi absolut untuk persalinan pervaginam, selama penanganan infeksi sudah dilakukan secara adekuat dan tidak ada indikasi obstetrik lain yang memerlukan seksio sesarea.
Tujuan utama adalah:
Melindungi ibu dan janin.
Menghindari transmisi ke tenaga kesehatan dan bayi.
Menjamin eradikasi infeksi maternal dengan terapi yang tepat sebelum atau sesudah partus.
---
2. Prinsip umum
Menurut Williams Obstetrics (2022) dan ACOG Practice Bulletin No. 207 (2024):
> “Mode of delivery in syphilis should be based on obstetric indications, not the infection itself. Vaginal delivery is acceptable if the mother has been adequately treated and there are no active genital lesions.”
Dengan kata lain, partus pervaginam dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang memastikan keamanan ibu, bayi, dan tenaga kesehatan.
---
3. Syarat Partus Pervaginam pada Ibu dengan Sifilis
Aspek Syarat Klinis / Ketentuan Keterangan
1. Status terapi sifilis ibu Telah mendapat terapi benzathine penicillin G lengkap sesuai stadium (minimal 30 hari sebelum perkiraan partus). Terapi adekuat menurunkan risiko transmisi vertikal hingga <2%. Jika belum diterapi → bayi tetap berisiko tertular.
2. Tidak terdapat lesi aktif pada genitalia eksternal / vagina / serviks Harus dipastikan melalui pemeriksaan genital lengkap. Lesi primer atau sekunder yang terbuka mengandung T. pallidum → risiko transmisi langsung ke bayi saat lahir. Bila ada → tunda persalinan spontan, lakukan SC.
3. Tidak ada tanda infeksi sistemik aktif Tidak ada demam, ruam sekunder aktif, atau gejala sifilis sekunder sistemik. Infeksi aktif meningkatkan risiko penularan intrauterin dan neonatal.
4. Tes serologi menunjukkan respon terapi adekuat Penurunan titer RPR/VDRL ≥4 kali dibanding nilai awal setelah terapi. Menunjukkan eradikasi bakteri sistemik. Jika belum turun, perlu evaluasi ulang pengobatan.
5. Tidak ada indikasi obstetrik untuk SC Misalnya: gawat janin, disproporsi sefalopelvik, plasenta previa, atau bekas SC multipel. Pemilihan rute partus didasarkan pada indikasi obstetrik, bukan infeksi.
6. Janin hidup dan tidak menunjukkan tanda-tanda distress berat Denyut jantung janin normal, tidak ada tanda IUFD. IUFD → induksi pervaginam dapat dilakukan setelah terapi antibiotik.
7. Profilaksis penularan dan proteksi tenaga medis tersedia Penggunaan APD lengkap: sarung tangan ganda, masker N95, pelindung mata, gaun tahan cairan. T. pallidum dapat menular melalui darah & cairan amnion saat partus.
8. Fasilitas neonatal untuk evaluasi dan terapi bayi tersedia Bayi harus segera diperiksa RPR/VDRL dan bila positif → terapi penisilin neonatal. Rekomendasi: pengawasan neonatus minimal 10 hari pascapartus.
---
4. Langkah tambahan dalam partus pervaginam
1). Hindari tindakan invasif berlebihan
Jangan lakukan amniotomi dini, fetal scalp electrode, atau vakum ekstraksi bila tidak mutlak diperlukan.
Tujuannya menghindari kontak langsung darah-cairan dengan kulit bayi.
2). Segera bersihkan bayi setelah lahir
Cuci tubuh bayi dengan sabun dan air hangat untuk menghilangkan cairan amnion dan darah.
Hindari kontak langsung petugas dengan darah tanpa APD.
3). Penatalaksanaan pascapersalinan
Ibu tetap kontrol serologi (RPR/VDRL) 3 dan 6 bulan postpartum.
Bayi diperiksa titer nontreponemal dan diberi benzathine penicillin G IM sesuai panduan CDC bila titer ≥ ibu atau belum ada penurunan.
---
5. Kapan tidak dianjurkan partus pervaginam
Partus pervaginam tidak dianjurkan / kontraindikasi relatif bila:
1). Terdapat lesi sifilis aktif di vagina, vulva, atau serviks.
2). Ibu belum mendapatkan atau baru memulai terapi penisilin <30 hari sebelum partus.
3). Adanya tanda infeksi aktif sekunder (ruam, condyloma lata).
4). Kondisi obstetrik yang mengharuskan SC (plasenta previa, malpresentasi, CPD).
Pada kondisi tersebut, seksio sesarea (perabdominam) dapat dipilih untuk:
Menghindari transmisi langsung ke bayi.
Mempercepat proses partus bila kondisi ibu/ janin darurat.
---
6. Kesimpulan
✅ Partus pervaginam diperbolehkan pada kehamilan dengan sifilis jika:
- Ibu telah mendapat terapi adekuat.
- Tidak terdapat lesi genital aktif.
- Tidak ada indikasi obstetrik untuk SC.
- Fasilitas proteksi tenaga medis dan tata laksana bayi tersedia.
❌ Hindari partus pervaginam jika infeksi aktif atau terapi belum adekuat → pilih seksio sesarea untuk mencegah transmisi vertikal dan infeksi petugas.
---
Daftar Referensi
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Dashe JS, Hoffman BL, Spong CY, Casey BM, editors. Williams Obstetrics. 26th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2022.
2. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2016.
3. American College of Obstetricians and Gynecologists. ACOG Practice Bulletin No. 207: Syphilis in Pregnancy. Obstet Gynecol. 2024;143(5):e1–e9.
4. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG). Management of Syphilis in Pregnancy and Congenital Syphilis. Green-top Guideline No. 44. London: RCOG; 2023.
5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Sexually Transmitted Infections Treatment Guidelines: Syphilis During Pregnancy. MMWR Recomm Rep. 2021;70(4):1–24.
6. Stafford IA, Workowski KA. Syphilis Complicating Pregnancy and Congenital Syphilis. N Engl J Med. 2024;390(3):242–253. doi:10.1056/NEJMra2202762.
7. World Health Organization. WHO Guidelines for the Treatment of Maternal and Congenital Syphilis. Geneva: WHO; 2017.
8. Armini LN, et al. Evaluation of the Triple Elimination Programme (HIV, Syphilis, Hepatitis B) in Denpasar, Indonesia. Infect Dis (MDPI). 2023;8(11):492.
9. Wulandari LPL, et al. Implementation Barriers in Antenatal Syphilis Testing in Indonesia. BMC Health Serv Res. 2024;24(1):553.
10. Wahyuni R, et al. Clinical Outcomes of Syphilis in Pregnancy: Indonesian Case Series. J Kedokteran dan Kesehatan Indonesia. 2023;14(2):87–95. (Sinta 3).
Komentar